Oleh Bambang PS Brodjonegoro
Guru Besar Universitas Indonesia
“Sudah saatnya kita memperlakukan sisa makanan bukan sebagai sampah, melainkan sebagai sumber daya pencipta lapangan kerja, pengungkit kesejahteraan masyarakat, pendorong produktivitas, dan penahan beban keuangan negara.”
Setengah kilogram makanan dibuang setiap hari oleh setiap orang di Indonesia. Angka yang didapat dari hasil kajian Bappenas Juni 2021 terkait food loss and waste ini sangat memprihatinkan.
Terlebih lagi saat ini 45,7 persen penduduk Indonesia masih kekurangan nutrisi dan satu dari empat anak balita mengalami tengkes (stunting) atau kekurangan gizi kronis. Sisa makanan yang dibuang seharusnya bisa menjadi nutrisi bagi 47 persen penduduk Indonesia.
Berakhirnya sisa makanan ke tempat pembuangan akhir/TPA (landfill) juga membawa banyak dampak negatif, seperti polusi bau dan emisi gas metana yang mempercepat perubahan iklim.
Sisa makanan yang tak dipilah dari hulu akan menyebabkan kian sedikitnya material yang bisa didaur ulang, akibat dari kesulitan membersihkan material daur ulang dari pengotor limbah organik.
Lalu apa solusi agar sisa makanan tak memenuhi TPA? Jika dijadikan bahan bakar (feedstock) untuk diubah ke listrik pun kurang cocok karena tingkat kandungan airnya yang tinggi.
Solusi utama tentunya mengurangi sisa makanan yang masuk ke TPA. Perubahan perilaku masyarakat perlu dilakukan, terutama persepsi penolakan akan ugly food, yaitu makanan yang tak memenuhi standar estetika, tetapi sebenarnya masih layak konsumsi.
Upaya lainnya adalah dengan mengumpulkan sisa makanan yang masih layak konsumsi untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Sebuah start-up di Inggris, OLIO, melakukan inisiatif ini dan telah menyalurkan lebih dari 27 juta porsi makanan selama lima tahun terakhir.
Namun, walaupun telah melakukan berbagai usaha untuk meminimalkan sisa makanan, pasti masih ada porsi yang tak dapat dikonsumsi, seperti kulit pisang. Sisa makanan yang sudah tak dapat dikonsumsi dapat dikonversi dengan cara pengomposan. Penguraian sisa makanan dengan cara ini menghasilkan kompos yang dapat digunakan untuk menyuburkan tanah. Namun, untuk menguraikannya secara sempurna, perlu waktu berbulan-bulan.
Penambahan organisme dekomposer ke dalam tumpukan limbah dapat mempercepat proses pengomposan. Larva dari lalat tentara hitam atau black soldier fly (BSF) adalah salah satu organisme yang dapat secara cepat mengurai dan menghabiskan sisa makanan.
Telur larva BSF setelah menetas menjadi larva, dimasukkan ke dalam tumpukan sisa makanan dan limbah organik setiap hari, selama 18-21 hari.
Limbah habis terurai secara sempurna dan hanya menyisakan kompos yang sangat kaya akan hara. Penggunaan agen dekomposer BSF membuka cakrawala baru dalam pengolahan limbah organik.
Pengolahan limbah menjadi pupuk
BSF merupakan organisme yang pada masa larvanya membutuhkan asupan makanan yang sangat banyak dan dapat mengonsumsi secara sempurna limbah makanan dalam 2-3 minggu. Proses ini berlangsung secara alami, tidak membutuhkan energi dan tidak mengeluarkan jejak karbon.
Dalam proses penguraian sisa makanan, larva BSF menghasilkan frass, cairan yang kaya akan unsur hara dan mikroba yang sangat dibutuhkan untuk menyuburkan tanah.
Sebuah studi dari jurnal Nature menyatakan bahwa penggunaan frass BSF sebagai pupuk hayati dapat meningkatkan populasi bakteri dan fungi, mengurangi tingkat keasaman tanah, dan meningkatkan unsur hara makro 2-4 kali lipat.
Studi lainnya dari jurnal Frontiers in Plant Science juga memperlihatkan kombinasi pupuk hayati BSF dengan pupuk NPK menghasilkan sayuran (tomat, buncis, dan kale) dengan jumlah 20-48 persen lebih tinggi, jika dibandingkan hanya menggunakan pupuk NPK.
Penggunaan pupuk hayati BSF juga dapat mencegah degradasi lahan atas pemakaian pupuk kimia yang berlebih dan terus-menerus. Luas lahan baku sawah 2019 mencapai 7,5 juta hektar, naik dibandingkan 2018 yang 7,1 juta hektar. Namun, BPS mencatat produksi padi Indonesia turun dari 59,2 juta ton tahun 2018 menjadi 54,6 juta ton tahun 2019.
Penurunan produktivitas lahan sawah dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, tanah kehilangan unsur haranya akibat digunakan terus-menerus. Kedua, karena semakin banyaknya bahan kimia yang tertinggal di dalam tanah, menyebabkan kemampuan penyerapan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman semakin menurun.
Selama 2019, konsumsi pupuk kimia di dalam negeri mencapai 10,35 juta ton. Dari jumlah tersebut, 75 persen atau sekitar 7,7 juta ton merupakan pupuk bersubsidi. Tingginya subsidi pupuk tentunya memberikan tekanan bagi APBN Indonesia. Di 2019, anggaran subsidi pupuk mencapai Rp 34,3 triliun.
Jumlah ini lebih besar jika dibandingkan anggaran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 32,7 triliun yang dibagikan ke 9,8 juta keluarga.
Untuk setiap 1 hektar lahan, pola pemupukan konvensional biasanya membutuhkan 520 kilogram pupuk kimia. Jika menggunakan pola pemupukan kombinasi, total pupuk yang digunakan menjadi hanya 250 kilogram pupuk kimia dan 6 liter pupuk hayati BSF. Artinya, pola kombinasi pemupukan ini berpotensi mengurangi jumlah pupuk kimia yang digunakan sampai dengan 50 persen, atau mengurangi tekanan fiskal subsidi pupuk sebesar 30 persen.
Keluaran lain dari proses penguraian limbah makanan adalah larva BSF itu sendiri. Sebanyak 15 gram telur BSF dapat menetas dan membesar menjadi 30 kilogram larva BSF setelah sekitar 18 hari, dan dalam prosesnya dapat menghabiskan limbah makanan sekitar 75 kilogram per hari, atau sekitar 1.350 kilogram dalam siklus 18 hari.
Larva BSF memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, mencapai 43 persen dari bobot keringnya dengan profil asam amino yang setara dengan fish meal. Fish meal atau tepung ikan merupakan salah satu bahan utama untuk membuat pakan ternak protein tinggi, yang saat ini masih dipenuhi melalui impor dari Peru dan Chile.
Selama periode Januari-Mei 2021, untuk memenuhi permintaan pakan ternak dalam negeri, Indonesia mengimpor tepung ikan dengan nilai 43,5 juta dollar AS. Ketergantungan akan impor tepung ikan membuat harga pakan ternak dalam negeri menjadi mahal.
Oleh karena itu, larva BSF sangat berpotensi sebagai sumber protein alternatif dari tepung ikan dalam upaya Indonesia mencapai kemandirian pangan. Pemusnahan limbah organik dengan larva BSF juga membawa beberapa manfaat lainnya.
Pertama, larva BSF dapat menghilangkan bau limbah karena dapat mencerna senyawa organik sebelum sempat membusuk. Kedua, larva BSF menghasilkan senyawa antimikroba sehingga pupuk hayati yang dihasilkan oleh BSF tidak mengandung bakteri salmonella dan E-coli.
Ketiga, BSF tak berperan sebagai vektor penyakit. Pada fase lalatnya, BSF tak memiliki mulut sehingga tidak makan dan menggigit. Cadangan makanan diperoleh saat masih dalam fase larva. Saat dalam fase lalat, BSF hanya kawin dan bertelur.
Dan terakhir, penguraian limbah dengan larva BSF tak menghasilkan sampah sama sekali. Semua keluaran prosesnya dapat dipergunakan sebagai pupuk dan pakan ternak, sehingga penguraian limbah dengan BSF dapat disebut the true circular economy.
Sisa makanan bukan sampah
Penerapan konsep the true circular economy dengan menggunakan BSF sudah berjalan setiap hari di sebongkah lahan yang menghadap gunungan sampah terbesar di Indonesia, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.
Pada lahan seluas 11.000 meter persegi ini, limbah makanan sebanyak 50 ton dapat dimusnahkan setiap hari dengan menggunakan larva BSF. Pupuk cair yang dihasilkan mencapai 50.000 liter per hari dan sudah didistribusikan ke daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk meningkatkan produktivitas pelbagai macam tanaman.
Pemusnahan limbah makanan ini berkontribusi terhadap penghematan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 2,5 miliar per tahun, jika diasumsikan tipping fee TPST Bantargebang sebesar Rp 140.000 per ton.
Terlebih lagi, tidak terjadinya penumpukan sampah organik karena semua limbah makanan yang masuk dapat terkonversi seluruhnya. Aktivitas ini juga berkontribusi terhadap perekonomian lokal, dengan penciptaan lapangan kerja bagi 175 masyarakat di sekitar TPST Bantargebang.
Pada 2019, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa 57 persen atau sekitar 38 juta ton timbulan sampah yang dihasilkan adalah sisa makanan. Tingginya jumlah limbah sisa makanan membuka peluang yang tak terhingga jika keseluruhan limbah dapat diolah dengan menggunakan BSF.
Namun, dalam penerapannya saat ini, masih terdapat beberapa tantangan pengelolaan sampah dengan menggunakan larva BSF. Tantangan pertama terletak pada sisi hulu pengelolaan sampah, di mana larva BSF membutuhkan sisa makanan dan limbah organik yang belum membusuk agar perkembangan larvanya dapat berlangsung optimal.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 Pasal 19 dinyatakan bahwa pengangkutan sampah dilakukan dari TPS (tempat penampungan sementara) ke TPA atau TPST. Artinya, limbah organik dan sisa makanan di TPS yang masih segar tidak bisa langsung diangkut ke tempat pengolahan limbah dengan BSF. Jika pola penanganan limbah ini dapat dibuka oleh pemerintah, akan mendorong terbentuknya ekosistem pengolahan limbah organik.
Tantangan kedua terletak pada sisi hilir pengolahan limbah. Saat ini, pola pikir para petani di Indonesia masih banyak yang terpaku pada penggunaan pupuk kimia. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya kolektif semua pihak, baik dari pemerintah maupun organisasi sosial/kemasyarakatan, dalam memberikan sosialisasi akan pentingnya penggunaan pupuk hayati untuk menjaga tingkat kesuburan tanah.
Tentunya upaya tersebut harus diiringi dengan pelatihan dan pendampingan cara penggunaan kombinasi pupuk hayati dan pupuk kimia yang tepat. Limbah organik dan sisa makanan memiliki banyak potensi yang saat ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Sudah saatnya kita memperlakukan sisa makanan bukan sebagai sampah, melainkan sebagai sumber daya pencipta lapangan kerja, pengungkit kesejahteraan masyarakat, pendorong produktivitas, dan penahan beban keuangan negara.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/06/ekonomi-sirkular-dan-subsidi-pupuk