Digitalisasi dan Pemerataan

Juni 27, 2024

Tulisan dimuat di Harian Kompas, 30 Maret 2022

 

Menyoal tentang kesenjangan seolah tidak ada habisnya. Masalah ini selalu ada, sejak zaman masyarakat agraris, industri, hingga kini masyarakat digital.

Beberapa pakar, seperti Prof Jan van Dijk dan Prof Glenn Woroch, bahkan menyebut era digital justru memunculkan kesenjangan baru, kesenjangan digital (digital divide).

Di negara berkembang, kesenjangan digital umumnya digambarkan sebagai kesenjangan antara mereka yang memiliki akses ke teknologi digital dan mereka yang tak memiliki akses. Di negara maju, di mana akses teknologi digital hampir universal, kesenjangan digital beranjak ke level yang lebih jauh, yaitu kesenjangan dalam keterampilan seseorang dalam menggunakan teknologi digital.

Semua fase kesenjangan digital saling berkesinambungan, bahkan berdampak pada kesenjangan nyata di masyarakat. Karena akses ke teknologi tidak merata, dengan sendirinya akan timbul kesenjangan antara keterampilan seseorang dalam menggunakan teknologi digital.

Pada akhirnya, di era digital ini, perbedaan dalam keterampilan akan memengaruhi jurang kesenjangan sosial dan ekonomi seseorang di mana yang terampil akan semakin makmur, sementara yang tidak terampil tidak akan dapat memanfaatkan teknologi digital untuk menyejahterakan dirinya.

Semua fase kesenjangan digital saling berkesinambungan, bahkan berdampak pada kesenjangan nyata di masyarakat.

Di Indonesia sendiri, pemerataan infrastruktur menjadi hal pertama yang harus dikejar demi mengurangi kesenjangan digital. Sampai 2024, pemerintah melalui Kemenkominfo menargetkan pembangunan 9.586 menara BTS dari Sabang sampai Merauke. Jaringan Palapa Ring pun akan dioptimalkan melalui program integrasi Palapa Ring sepanjang 12.083 kilometer dari darat dan laut.

Menurut riset Statista, penetrasi jaringan broadband di Indonesia saat ini baru 3,82 persen dengan rata-rata kecepatan 27,83 Mbps. Jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 113,25 Mbps. Kecepatan internet yang tinggi, dibarengi infrastruktur yang mumpuni, sangat penting untuk meningkatkan perekonomian berbasis digital.

Pada 2025, Google memprediksi ekonomi digital Indonesia akan mencapai nilai 146 miliar dollar AS. McKinsey Global Institute (MGI) juga memperkirakan ekonomi digital akan menyumbang 130-150 miliar dollar AS bagi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia di 2025 atau sebesar 4 persen. Tingginya proyeksi ini tentu tak lepas dari meningkatnya pertumbuhan pengguna internet. Pada 2021 saja, penduduk yang sudah terkoneksi dengan internet sebanyak 197 juta jiwa.

Mengingat dewasa ini kesenjangan digital secara tak langsung berpengaruh pada kesenjangan sosial-ekonomi, menutup jurang tersebut dengan digitalisasi menjadi sangat penting. Dalam hal ini, sektor perdagangan merupakan sektor krusial untuk didigitalisasi.

Selama pandemi Covid-19, LIPI menemukan, 94,69 persen dari total UMKM mengalami penurunan penjualan secara signifikan.

 

Digitalisasi UMKM

Dalam Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan UMKM 2015-2019, dikatakan memberdayakan UMKM merupakan manifestasi dari pembangunan perekonomian nasional yang diharapkan mampu mendorong pemerataan pendapatan dan menciptakan lapangan kerja. Ini tak lepas dari fakta bahwa 99 persen dari usaha di Indonesia adalah UMKM.

Selama pandemi Covid-19, LIPI menemukan, 94,69 persen dari total UMKM mengalami penurunan penjualan secara signifikan. Ini perlu diperhatikan karena UMKM berkontribusi 61,07 persen terhadap PDB nasional dan menyerap 96,9 persen tenaga kerja nasional.

Sebagai penggerak ekonomi Indonesia, UMKM tentu harus mulai beradaptasi dengan platform digital untuk meningkatkan daya saingnya. Sayangnya, UMKM yang melek digital masih sedikit. Menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM, UMKM yang masuk ke dalam ekosistem digital baru 13,7 juta. Pada 2030, ditargetkan 30 juta UMKM terhubung ke dalam ekosistem digital.

Tahun lalu, pemerintah menggelontorkan dana Rp 1,2 juta bagi setiap usaha untuk mencegahnya gulung tikar di masa pandemi. Melalui skema bantuan presiden (banpres), diharapkan roda perekonomian dapat berputar kembali.

Namun, pemberian dana langsung tunai tidaklah cukup. Untuk beberapa waktu, dana tunai ini bisa menambal biaya operasional usaha. Ke depan, UMKM tetap harus bertransformasi secara digital agar bertahan. Digitalisasi UMKM tak hanya tentang memasarkan produk secara daring di e-commerce, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan bisnis, melebarkan rantai pasokan/suplai, analisis data, dan logistik.

Untuk ini, pelatihan dan program kemitraan dengan e-commerce atau brand aggregator dapat dipertimbangkan. Salah satu program kemitraan yang berhasil adalah antara start-up Bukalapak dan Tuka Tuku dengan Pemkab Purbalingga. Melalui program ini, Pemkab memajang produk UMKM di etalase digital market place, serta menyediakan layanan pergudangan, branding, dan packaging.

Karena Pemkab berfungsi sebagai kurator, UMKM juga difasilitasi dengan layanan pelanggan dan kemudahan jasa pengiriman. Selain itu, Bukalapak sebagai mitra juga membantu meningkatkan kapasitas SDM pelaku usaha melalui pemberian pelatihan dan pendampingan dalam penjualan produk secara daring.

Program online-to-offline yang digagas Bukalapak lewat program Mitra Bukalapak juga turut mempercepat digitalisasi UMKM. Lewat program Mitra Bukalapak, warung dan toko kelontong diberi fasilitas aplikasi khusus agar mereka bisa membeli barang dan layanan secara daring. Layanan yang dimaksud, antara lain, pembelian pulsa dan paket data, pembayaran listrik, PDAM, dan BPJS Kesehatan. Warung juga dapat kemudahan untuk mengakses barang kulakan lewat aplikasi khusus.

Bukalapak bekerja sama dengan perusahaan fast moving consumer goods (FMCG), seperti Unilever, Wings, dan ABC, dan memotong jalur distribusi mereka agar pemilik warung tak perlu lama menunggu kedatangan barang. Keberadaan warung yang tersebar di banyak wilayah Indonesia membuatnya jadi target strategis untuk masuknya digitalisasi. Dengan digitalisasi warung, pendapatan warung tentunya akan bertambah dan biaya operasional akan berkurang.

Per 2021, data Bukalapak mencatat pihaknya sudah mendigitalisasi 8,7 juta warung. Rata-rata mereka yang bergabung dalam program Mitra Bukalapak mengalami kenaikan pendapatan hingga tiga kali lipat.

Cara lain yang dapat ditempuh untuk mendorong digitalisasi UMKM adalah bergabung dengan brand aggregator. Konsep ini memang masih terbilang baru di Indonesia, tetapi beberapa perusahaan, seperti OpenLabs dan Hypefast, sudah menginisiasi langkah dengan cara mengakuisisi brand-brand kecil, kemudian menginvestasikan sejumlah uang ke usaha tersebut. Namun, berbeda dengan venture capital atau perusahaan modal lainnya, brand aggregator tak hanya memberi investasi, tetapi juga membantunya berkembang dari segi SDM, pemasaran, pengembangan produk, operasionalisasi, keuangan, dan teknologi. Beberapa brand aggregator juga membantu membukakan akses pasar hingga ke Asia Tenggara bagi pelaku usaha kecil ini.

Dengan membantu UMKM untuk ”naik kelas” melalui digitalisasi, hal itu secara tak langsung akan berpengaruh pada pemerataan distribusi pendapatan. Secara lumrah, UMKM yang berada di daerah akan kurang mendapat akses, baik digital maupun akses pasar, sehingga tertinggal dari pelaku usaha di daerah urban. Digitalisasi membuka akses pasar lebih luas sehingga akan meningkatkan pendapatan pelaku usaha yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

 

Pemerataan pendanaan

Masalah utama yang kerap dihadapi UMKM adalah pendanaan. Sebelum adanya konsep brand aggregator, pilihan pendanaan UMKM relatif terbatas.

Secara teori, UMKM dapat mendatangi bank untuk mencari pinjaman dalam bentuk kredit usaha atau kredit program pembiayaan UMK. Namun, ini bukan tanpa masalah. Menurut Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), sebanyak 46,6 juta pelaku UMKM dinilai tidak bankable sehingga tak dilirik perbankan. Kementerian Koperasi dan UMKM bahkan menilai angka itu lebih tinggi lagi.

Data kementerian mencatat, 35,49 juta UMKM termasuk kategori usaha yang belum produktif sehingga belum layak menerima kredit. Sisanya, 15,21 juta UMKM, termasuk kategori usaha produktif, tetapi belum layak menerima kredit. Ini menjadi seperti buah simalakama karena untuk dapat produktif, UMKM perlu menerima modal yang cukup.

UMKM yang sudah menggunakan unsur teknologi dapat bertransformasi menjadi start-up. Mereka termasuk kategori yang beruntung karena dapat mengakses modal awal dari angel investor ataupun venture capital. Dengan menukar saham kepemilikan, start-up dapat melaju berbekal ”potensi pendapatan” sehingga tidak harus sudah produktif saat menerima modal awal.

Di antara negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia cukup produktif menghasilkan start-up.

Di antara negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia cukup produktif menghasilkan start-up. Tercatat ada 2.319 usaha yang bisa dikategorikan sebagai start-up. Banyaknya start-up ini membuktikan bahwa UMKM yang sudah melek teknologi dapat mengakses pendanaan yang lebih baik. Beberapa start-up yang bergerak di bidang teknologi finansial (tekfin) bahkan juga aktif membantu sesama start-up atau UMKM lain dengan menggelontorkan pendanaan lewat skema microfinancing dan peer to peer lending.

Menurut data AFPI, skema pendanaan ini didukung oleh 9 juta pemberi pinjaman dengan total outstanding hingga Rp 5 triliun. Pemberi pinjaman terbanyak saat ini masih dari pemberi pinjaman ritel. Dengan alternatif credit scoring dari perusahaan tekfin, UMKM dapat lebih mudah memperoleh kepercayaan mendapatkan pinjaman.

Skema microfinancing fintech cenderung berbeda dengan lembaga microfinancing konvensional. Umumnya, lembaga microfinance konvensional terdiri dari bank publik ataupun swasta, Pegadaian, atau koperasi. Beberapa bank publik menawarkan pinjaman dengan bunga 30 persen dan plafon Rp 50 juta, tetapi hingga kini sangat sedikit studi yang menemukan bahwa microfinance konvensional dapat menjangkau pelaku usaha yang dinilai unbankable.

Sementara skema microfinance fintech memiliki kelebihan, yakni satu peminjam bisa mendapatkan pinjaman dari beberapa pemberi pinjaman. Ukuran pinjaman yang lebih kecil dan bunga yang lebih lunak berpotensi melancarkan semakin banyak kredit produktif, terutama untuk pelaku usaha yang dinilai unbankable. Meningkatkan penyaluran dana microfinance ke daerah-daerah tentunya dapat mengurangi ketimpangan penyaluran modal awal yang biasanya terpusat.

Bursa Efek Indonesia menuturkan, masih ada 75 persen masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses ke perbankan.

 

Mengurangi ketimpangan

Bursa Efek Indonesia menuturkan, masih ada 75 persen masyarakat Indonesia yang belum memiliki akses ke perbankan. Akses yang belum merata sering kali menghambat penyaluran dana bantuan sosial, baik di masa stabil maupun di masa krisis. Pemanfaatan teknologi untuk penyaluran bantuan sosial melalui perusahaan berbasis teknologi (start-up) dianggap sebagai sebuah solusi untuk meningkatkan efisiensi serta untuk mempermudah pengawasan.

Penyaluran dana lewat start-up tekfin atau fintech dinilai dapat menjangkau lapisan masyarakat dengan lebih tepat sasaran. Sebagai negara dengan tingkat penggunaan telepon pintar 72 persen (Statista, 2021), aksesibilitas tekfin bisa menjangkau masyarakat yang tak tersentuh dunia perbankan konvensional. Teknologi analitik dan KYC berbasis online yang dimiliki tekfin juga dapat digunakan untuk menjangkau masyarakat di daerah pelosok yang barangkali sulit mengakses layanan keuangan secara tatap muka.

Start-up juga dapat membantu UMKM berkembang dalam berbagai sektor. Sebagai contoh, SayurBox dan TaniHub membantu pelaku usaha pertanian mengakses pasar lebih luas. Start-up seperti Aruna dan E-Fishery dapat membantu lebih dari 15.000 nelayan yang tergabung dalam komunitas untuk meningkatkan kualitas komoditas dan membantu dalam pengelolaan distribusi. Dalam hal lingkungan hidup, Waste 4Change membantu sistem pengelolaan sampah bagi perusahaan dan pelaku usaha untuk mengurangi timbunan sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Pemerintah juga aktif menggalakkan terciptanya start-up baru, sebagai contoh lewat Program 1.000 Start-up besutan Kemenkominfo. Diharapkan, masyarakat usia produktif akan lebih tertarik untuk terjun ke dunia bisnis digital. Ke depannya, start-up sebagai penggerak ekonomi harus mampu mengurangi kesenjangan ekonomi atau rasio gini. Per 2021, rasio gini kita di angka 0,384. Dengan digitalisasi, seharusnya angka ini dapat diturunkan lagi.

Semua pihak, baik pemda, lembaga keuangan, maupun start-up yang sudah lebih dulu mapan, harus bahu-membahu mendorong digitalisasi di berbagai sektor. Dengan digitalisasi, niscaya pertumbuhan ekonomi akan dibarengi pemerataan pendapatan dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat.

 

Bambang PS Brodjonegoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia