Inovasi dan Investasi

Juni 16, 2021

“Economic growth springs from better recipes, not just from more cooking”.

Paul Romer, 2018 Nobel Laureate in Economics

KOMPAS | (24/2/2021) – Setiap negara punya mimpi membuat masyarakatnya sejahtera. Itu sebabnya, mereka selalu berupaya untuk memacu laju pertumbuhan ekonominya, sebagai salah satu cara yang mesti ditempuh agar mimpi itu jadi kenyataan. Indonesia tak terkecuali.

Atas prakarsa Presiden Joko Widodo, pada Mei 2019 kami yang saat itu di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas telah menyusun Visi Indonesia 2045. Di dalam visi tersebut diproyeksikan bahwa setelah seratus tahun merdeka, Indonesia akan menjadi negara maju sebagai kekuatan ekonomi nomor lima di dunia, dengan kualitas manusia yang unggul menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Visi ini tidak hanya memberikan gambaran mengenai Indonesia pada tahun 2045, tetapi juga peta jalan yang mesti ditempuh untuk mewujudkannya. Dalam visi tersebut ditargetkan bahwa Indonesia akan berhasil keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) pada tahun 2035, dan pada tahun 2045 sudah termasuk negara yang berpendapatan tinggi.

Adapun upaya pencapaian dilakukan lewat empat pilar pembangunan, yaitu 1) pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; 2) pembangunan ekonomi berkelanjutan; 3) pemerataan pembangunan; dan 4) pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Kemudian, ada tiga fase pembangunan yang dirancang untuk menuju negara maju di 2045. Fase pertama (2016-2025), bertujuan memperkuat struktur ekonomi, yang diharapkan terjadi pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen per tahun.

Fase kedua (2026-2035), mempercepat pertumbuhan berbasis inovasi dengan target rata-rata 7 persen per tahun.

Lalu, fase ketiga (2036-2045), melakukan modernisasi ekonomi berbasis kualitas dan berkelanjutan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,3 persen per tahun.

Kunci dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tersebut adalah 1) peningkatan investasi; 2) peningkatan produktivitas; 3) perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM); dan 4) perbaikan pasar tenaga kerja. Semua ini dengan asumsi bahwa ada perubahan paradigma dari ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA) menjadi ekonomi berbasis inovasi.

Namun, artikel ini bukan tentang keseluruhan Visi 2045, melainkan ihwal dua dari sekian banyak hal penting untuk mewujudkan visi tersebut, yakni investasi dan inovasi.

Investasi dorong pertumbuhan

Peran investasi dalam memacu pertumbuhan ekonomi sudah sama kita ketahui. Teori tentang kaitan investasi dan pertumbuhan pun tidak sedikit. Itulah sebabnya, kita selalu berupaya menggenjot nilai investasi. Selain dari pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN), sumbernya juga yang terutama adalah swasta dan luar negeri.

Estimasi terakhir dari Bappenas menunjukkan, kita butuh dana Rp5.900 triliun untuk bisa tumbuh 5 persen dan keluar dari resesi akibat pandemi.

Upaya yang selama ini dilakukan dengan mengundang investasi dari luar negeri sangat baik untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi sekaligus juga menciptakan lapangan kerja. Namun, sebagaimana dirumuskan dalam fase pertama Visi 2045, yakni memperkuat struktur ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen, untuk itu kita akan butuh dana jauh lebih besar dari Rp5.900 triliun.

Diterbitkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tahun 2020 sangat sejalan dengan upaya tersebut. Kita tahu bahwa salah satu tujuan UU Cipta Kerja adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif. Harapannya, ini akan meningkatkan daya tarik investasi agar sebanyak-banyaknya pelaku bisnis datang menanamkan modalnya di Indonesia.

Namun, pertanyaannya adalah apakah arus investasi dan laju pertumbuhan itu akan berkesinambungan? Pertumbuhan seperti apa yang kita inginkan? Apakah itu akan bisa membantu mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045? Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita belajar dari pengalaman Korea Selatan.

Ekonomi berbasis inovasi

Mengapa Korea Selatan? Negeri ini memang sering dijadikan contoh ”lompatan ekonomi”. Seperti Indonesia, Korea Selatan juga secara resmi merdeka pada bulan Agustus 1945. Namun, mereka baru bebas seutuhnya setelah perang saudara usai pada tahun 1953. Saat itu produk domestik bruto (PDB) per kapita mereka kurang lebih sama dengan Indonesia, bahkan sedikit lebih rendah, alias sedikit lebih miskin dari kita. Dan, tidak seperti Indonesia, mereka tidak punya sumber daya alam.

Akan tetapi, pada tahun 2020, PDB per kapita mereka sudah di atas 30.000 dollar AS. Tujuh kali lipat dari PDB per kapita kita! Bahkan mereka sudah masuk kategori negara maju menjelang pergantian milenium. Sementara Indonesia sejak tahun 1990-an sampai saat ini masih berkutat di kategori negara menengah bawah. Apa pasal?

Jawaban singkatnya adalah SDM yang pekerja keras. Itu sudah menjadi ciri khas orang Korea yang ingin meniru—bahkan melebihi—orang Jepang. Tapi, tentu bukan sekadar itu. Mereka juga sangat inovatif. Korea Selatan merupakan langganan peringkat atas dunia dalam Indeks Inovasi yang disusun Bloomberg atau lembaga lainnya. Ekonomi mereka berbasis pada inovasi yang ditunjang oleh riset yang intensif.

Pada tahap awal pembangunan di tahun 1950-an dan 1960-an, mereka banyak mengundang/mengimpor modal dan teknologi. Dua hal yang memang tidak mereka miliki saat itu. Sambil bekerja keras memacu laju ekonomi, mereka juga mempelajari dan bertekad menguasai teknologi yang dibawa oleh penanam modal. Mereka berupaya untuk meminimalkan kesenjangan teknologi dengan negara-negara lain. Mereka menjadikan peningkatan kualitas SDM sebagai prioritas. Hal ini menjadi semakin intensif dan terkoordinasi baik dengan dibentuknya Kementerian Sains dan Teknologi pada tahun 1969.

Melalui kementerian ini (sekarang bernama Kementerian Sains, Teknologi Informasi dan Komunikasi) mereka mulai berinvestasi dalam teknologi dengan mengubah fokus dari impor teknologi menjadi penelitian dan pengembangan (R&D) untuk teknologi yang lebih kompleks. Kebijakan perihal sains, teknologi, dan inovasi (STI) pun mulai dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Ekonomi Lima Tahunan.

Jika dalam dua dekade pertama kementerian tersebut (1970-an dan 1980-an) R&D cenderung dibiayai oleh pemerintah, begitu memasuki dekade 1990-an, swasta mulai banyak terlibat. Kebijakan STI pada periode 1990-an mulai mendorong sistem inovasi teknologi oleh sektor swasta yang keterlibatannya terus meningkat pesat.

Tidak heran jika dewasa ini sekitar 80 persen biaya R&D di Korea Selatan didanai oleh sektor swasta. Mereka pun selalu masuk ke dalam kelompok negara dengan rasio R&D terhadap PDB yang tertinggi di dunia. Bersaing dengan Israel di angka lebih dari 4 persen.

Perlahan namun pasti mereka mulai mengembangkan ekosistem riset, yang belakangan terbukti sangat bermanfaat dan menjadi ladang subur untuk menghasilkan ide-ide dan kreativitas yang berkontribusi besar kepada nilai tambah ekonomi.

Walaupun pada awalnya banyak meniru dan hanya merakit produk-produk yang menjadi fokus, seperti otomotif dan barang-barang elektronik, mereka sejak dini sudah berusaha untuk mengembangkan produk dengan menggunakan merek (brand name) sendiri. Seiring dengan penguasaan teknologi yang makin canggih dan kemampuan inovasi tinggi yang sangat didukung oleh R&D yang intensif, perlahan merek-merek Korea Selatan semakin dikenal. Bahkan sudah menjadi sangat unggul di dunia dewasa ini. Siapakah yang tidak mengenal Samsung, LG, KIA, atau Hyundai?

Jadi, mengapa kita perlu mencontoh Korea Selatan? Pertama, karena mereka tidak mengandalkan SDA (yang memang tidak mereka miliki), tetapi fokus kepada pengembangan kualitas SDM. Kedua, seiring dengan itu, mereka juga banyak berinvestasi pada R&D yang ujungnya menghasilkan inovasi. Ketiga, terkait dengan dua poin sebelumnya, mereka sukses memanfaatkan kelas menengah yang berlimpah. Artinya, lolos dari perangkap pendapatan menengah.

Keberhasilan dari investasi yang mereka undang untuk masuk pada periode awal pembangunan ekonominya tidak hanya dilihat dari besarnya modal masuk serta seberapa banyak lapangan kerja yang tercipta, tetapi juga bagaimana menyerap teknologi yang mengiringi penanaman modal tersebut.

Institusi pendorong ekosistem riset

Jadi, menggapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang harus kita upayakan dalam menuju masyarakat sejahtera. Untuk itu, kita harus bekerja keras mengundang investasi sebesar-besarnya karena perannya yang krusial dalam mendorong perekonomian.

Namun, kita harus berpikir lebih jauh. Investasi saja tanpa adanya inovasi yang berbasis riset dan iptek akan riskan, apalagi kalau investasi tersebut masih banyak yang dikaitkan dengan SDA. Akan ada persoalan kesinambungan dan bahkan yang lebih serius: masuk ke dalam perangkap pendapatan menengah. Ini yang ingin kita hindari.

Tentu bukan pertumbuhan seperti itu yang kita inginkan. Paul Romer, peraih Nobel Ekonomi tahun 2018, menyatakan ”pertumbuhan ekonomi itu bukan hanya soal lebih banyak yang dimasak, melainkan juga soal resep-resep baru yang lebih baik. Resep yang memberi nilai ekonomis lebih untuk setiap unit bahan bakunya”.

Belajar dari Korea Selatan, kita seyogianya menjadikan inovasi berbasis riset ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai arus utama roda perekonomian sehingga investasi pun mesti dikaitkan dengan inovasi. Artinya, investasi yang masuk seyogianya diiringi dengan perkembangan riset yang menghasilkan inovasi. Inilah resep baru kita.

Harapannya tentu agar SDM kita bisa segera mengatasi ketertinggalannya dalam iptek sehingga, ke depan, kita bisa menjadi bangsa yang inovatif, mandiri, dan berdaya saing global.

Pengalaman Korea Selatan juga mencontohkan bahwa seyogianya ada institusi khusus yang menangani itu semua. Institusi yang berperan sebagai dirigen yang mengorkestrasi pengalihan dari ekonomi berbasis SDA kepada ekonomi berbasis inovasi. Institusi yang bisa menjadi pendorong utama terciptanya ekosistem riset. Ekosistem yang tidak hanya berisikan badan-badan litbang pemerintah dan BUMN, tetapi juga perguruan tinggi dan badan usaha milik swasta (BUMS).

Dalam konteks ini saya ingin menggarisbawahi peran Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai satu-satunya lembaga riset dan inovasi yang terintegrasi milik pemerintah. Ini sesuai dengan UU No 11 Tahun 2019. Namun, peran tersebut belum sepenuhnya bisa dijalankan, apalagi untuk menjadi seperti yang di Korea Selatan.

Dukungan dari para pemangku kepentingan terkait sangat dibutuhkan di sini, selain tentunya masalah klasik: dana riset yang sangat terbatas.